courtasy of lifehacker.com |
Beberapa hari
lalu saya baru saja menghadiri sebuah acara piknik bersama teman dan masyarakat
Indonesia yang ada di kota Izmir. Saya sangat antusisas untuk hadir setiap kali
acara seperti ini dihelat. Bukan hanya karena ingin menyicipi makanan Indonesia
yang biasanya kami coba sajikan diselang-selang acara, tapi juga karena
keinginan untuk memberi asupan semangat pada diri sendiri (menurut saya bisa
berkumpul dengan orang-orang sesama negara adalah sebuah kegiatan yang bisa
memberi asupan semangat).
Setiap kali
berkumpul bersama teman sesama negara, saya merasa asupan semangat saya bisa
kembali ke posisi seratus persen. Walaupun asupan ini akhirnya akan kembali
kepada titik nol seiring dengan waktu. Salah satu alasanya adalah karena saat
berkumpul kami bisa bercerita, bertukar keluh dan kesah selama berada
diperantauan, juga bisa saling menanyakan kabar. Semua hal kecil seperti ini
nyatanya bisa menghadirkan perasaan hangat layaknya ketika berada
ditengah-tengah keluarga sendiri. Dengan demikian semangat pun kembali ke
posisi utuh.
Di kota tempat
saya bersekolah, kota Manisa, kebetulan hanya ada beberapa orang Indonesia
saja. Karena tempat tinggal kami yang sangat berjauhan akhirnya kami jarang
bisa bertemu. Acara seperti yang di adakan PPI Izmir-lah yang akhirnya bisa
mengumpulkan kami semua. Namun karena posisi Izmir yang berada dikota seberang,
saya pun akhirnya harus berangkat kesana dengan merogoh kocek yang lumayan.
Lokasi kota saya
sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Izmir namun karena sudah bukan lagi
bagian dari kota Izmir, akhirnya saya harus menaiki bus antar kota, yang
artinya saya harus membayar sedikit lebih mahal. Padahal kalau saja moda
transportasi umum kota Izmir (eshot, izban atau metro) disambung sampai Manisa,
saya mungkin tidak perlu menghabiskan banyak uang. Alasan keuangan inilah yang akhirnya membuat
saya memilih-milah hari yang tepat buat saya untuk bisa berkumpul dengan
teman-teman Indonesia. Acara piknik seperti kemarin misalnya, saya memutuskan
untuk ikut karena disana semua orang akan berkumpul.
Bagi teman-teman
yang tinggal di kota Izmir, mereka sering mengadakan acara perkumpulan. Tidak
selalu resmi, acara yang mereka adakan terkadang hanya sekedar makan bersama.
Percayalah dinegara asing tidak ada yang lebih berharga dari sekedar bisa
berkumpul bersama orang satu negara dan menyicipi makanan Indonesia.
Hal ini membuat saya berfikir apakah harga menjadi
seorang yang sosial itu mahal?
Jujur selama
empat tahun saya di Turki saya merasa saya semakin sering menghabiskan waktu
sendiri di kamar dengan komputer saya aja. Bahkan tiba-tiba saya menyadari
bahwa makna dari "liburan" dalam kamus saya menjadi "menonton
film di leptop," bukan jalan-jalan dll. Sempat saya berkata kepada salah satu teman saya ketika dia bertanya,
apa yang kamu lakukan di hari minggu? Dan saya pun menjawab setengah
bercanda, I will socialize with my book dan film. Suatu hal yang mengagetkan namun
juga penuh dengan alasan. Salah satu alasannya adalah karena tidak adanya opsi
lain untuk orang seperti saya yang kebetulan secara ekonomi hanya cukup saja.
Tidak ada ruang bagi saya untuk bisa berhedonisasi.
Sering ada ajakan
dari teman-teman Turki saya untuk nongkrong di warung kopi. Terkadang saya
iya-kan. Namun sering kali saya hanya menolak dengan sopan. Karena kembali
lagi, ada tagihan-tagihan yang menunggu saya. Seperti tagihan asrama dan
lain-lain. Akan sangat egois jika saya mengedepankan keinginan saya untuk
berhedonisasi, daripada melunasi prioritas awal saja.
Terkadang saya
mengutuk keadaan. Namun, sering kali saya hanya mencoba untuk mensyukuri apa
yang saya punya.
Lalu bagaimana
dengan foto jalan-jalan saya yang berseliweuran di akun sosial media saya? Itu
semua bisa saya lakukan dengan menekan pengeluaran secara besar-besaran. Dengan
meminimalisir pengeluaran selama musim sekolah, saya pun akhirnya memiliki
beberapa sisa di kantong. Sisa itu lah yang akhirnya saya gunakan untuk biaya
transportasi. Untuk biaya makan? Makan adalah prioritas terakhir saya saya saat
jalan-jalan. Terkadang selama seharian saya hanya makan roti, pisang dan air.
Toh, di era digital seperti saat ini siapa yang butuh makan bukan? Yang membuat
kenyang kan foto. Hehe.. (excuse my sense of irony!)
Sosial atau
antisosial biasanya diartikan dari seberapa seringnya kita mau berinteraksi
dengan orang sekitar. Namun di era modern ini sosial atau tidaknya seseorang
kerap kali dilihat dari mau atau tidaknya individu itu untuk ikut nongkrong di
café atau restoran atau mal atau bioskop tanpa memperhatikan apakah individu
itu sanggup atau tidak untuk mengakomodir gaya hidup itu. Saya jadi berfikir
kenapa mahal sekali ya untuk menjadi seorang yang sosial? Lalu apakah ini
penyebabnya orang-orang pada lari ke media sosial? Karena mengalami hidup yang
sosial di dunia nyata itu mahal, maka hidup di sosial media lah pelarian
terakhirnya. Namun ironisnya ternyata mengakses sosial media pun mahal. Harga paket internet mahal. Lalu apakah menyendiri dikotak dan kesepian adalah satu-satu hal yang murah dalam hidup ini? Lalu seberapa banyak kah para anti-sosial yang sebenarnya bukan anti-sosial namun korban dari mahalnya harga menajadi manusia yang sosial? Apakah hanya para kaum sosialita saja yang layak hidup sosial?
Hidup tidak
henti-hentinya memberikan makanan untuk berfikir (food of thought) HAHA :d :d
0 comments:
Post a Comment