Jika menilik ulang sejarah hadirnya kopi ke Nusantara, maka
tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Belanda yang kebetulan sempat
meng-koloni Indonesia. Kini setelah berabad-abad setelah Indonesia merdeka,
kopi tetap menajadi salah satu komoditas tani di Indonesia. Bahkan saat ini
kopi Indonesia semakin bervariasi. Bukan hanya kaya akan cita rasa, namun juga
kaya akan makna. Kopi telah berbaur menjadi sebuah budaya yang tidak bisa
dilepaskan dari gaya hidup masyarakat lokal.
Namun dalam beberapa tahun terakhir nama kopi semakin naik
daun. Kopi telah naik pangkat dari hanya sekedar minuman warga lokal, kini menjadi minuman bergengsi. Salah satu
penyebab naiknya citra kopi adalah hadirnya warung kopi modern atau yang akrab
dengan sebutan cafe. Bukan hanya di kota-kota besar, kini cafe pun telah
merambat ke kota-kata kecil seperti Takengon dan Bener Meriah. Kedua kabupaten
ini adalah kabupaten penghasil kopi dengan kwalitas yang tidak perlu diragukan.
Ntah apa yang melatarbelakangi menjamurnya cafe di kedua kabupaten ini; apakah
hanya sekedar mengikuti tren budaya pop saja atau mungkin saja kedua kabupaten
ini sudah siap maju dalam meramaikan budaya bisnis modern. Semoga yang kedua
adalah alasan yang melatar belakangi hadirnya warung kopi modern di kedua
kabupaten yang sempat satu itu.
Pada saat kepulangan saya beberapa bulan lalu, saya
berkesempatan untuk mengunjungi salah satu cafe di kabupaten Bener Meriah. Nama
cafe itu cafe Seladang. Cafe yang mengadopsi tema "menyeruput kopi
langsung di kebun kopi" itu pun berlokasi langsung di tengah-tengah
kebun kopi. Jadi penikmat kopi bisa langsung melihat dari mana kopi yang
mereka seruput berasal. Ada satu hal lagi yang menarik dari cafe ini, atau
semua cafe yang berada di dataran tinggi gayo, yaitu keinginan untuk mengenalkan
budaya minum kopi masyarakat Gayo. Konon masyarakat Gayo minum kopi dengan gula
merah. Jadi alih-alih meminum kopi dengan gula, disini pelanggan akan di
manjakan dengan gula khas Gayo yaitu gula aren atau gula merah. Namun budaya
ini sempat meredup karena tutupnya pabrik gula yang sempat ada disana.
Satu hal yang menggelitik hati saya, jika pengemasan kopi
ala modern berkembang di tanah Gayo, lalu apakah ini akan membantu perekonomian
masyakarat? Atau budaya ngafe hanya akan menjadi budaya "panas taik
ayam", budaya yang hanya hadir ketika masih populer. Ketika kepopuleran
ngafe hilang, maka bubarlah semua bisnis cafe? Semoga tidak.
Kegelian saya semakin bertambah ketika megetahui bahwa
mayoritas pelanggan yang hadir di cafe-cafe adalah mereka datang bukan
berdasarkan kwalitas kopi yang hidangkan, namun dari kepopuleran cafe dan
ke-foto-able an cafe. Jadi niat awal mereka datang café bukan karena mereka
ingin berkumpul dengan kerabat atau menyicipi kopi yang berkwalitas tapi karena
ingin berfoto-foto. Sebuah budaya yang superficial
yang sedang menjangkiti dunia. Ketika semua kegiatan hanya didasarkan oleh
keinginan untuk memoto bukan karena ingin menikmati.
Hal lain yang menyebabkan menjamurnya café-café modern
adalah faktor media. Beberapa tahun terakhir ada banyak sekali produksi film
yang mengangkat tema tentang kopi, sebutnya Filosofi Kopi. Kehadiran film
seperti ini mengangkat citra kopi. Masyarakat semakit tertarik untuk mengetahui
lebih jauh tentang dunia kopi. Tapi disisi lain kehadiran media juga melahirkan
sebuah budaya yang dangkal. Orang datang menyicipi kopi agar di anggap
kekinian. Bukan semata-mata karena ingin benar-benar menyicipi kopi.
Jangan salah, saya adalah penggemar berat tulisan Dewi
Lestari. Saya sudah membaca Filosofi Kopi jauh sebelumnya akhirnya buku ini
ledak dipasaran paska penadaptasian buku ke film. Namun, hal yang terjadi di
masyarakat kita saat ini adalah budaya yang mengedepankan kekinian dan
mengenyampingkan makna dan fungsi. Mereka ikut menikmati hal yang baru tapi
hanya untuk terlihat up-to-date, bukan karena mereka benar-benar ingin memahami
makna hal baru itu dengan sesungguhnya.
Kehadiran café didaerah-daerah adalah sebuah hal yang perlu
kita seleberasi. Bukan hanya karena ini menandakan bahwa daerah sudah siap
untuk mengimplementasikan gaya bisnis modern namun juga menandakan bahwa
masyarakat di daerah sudah siap untuk bersaing. Apalagi ditambah dengan
banyaknya percoban untuk membaurkan kekhasanahan budaya lokal dengan budaya
modern. Semoga daerah-daerah di Indonesia semakin berkembang dan keluar dari
ketersampingan dan ketersudutuan seperti halnya yang terjadi selama ini.
Sekian
0 comments:
Post a Comment