Danau Lut Tawar, Gayo High Land |
Disamping fakta
bahwa saya belum 100% sadar apakah hidup ini benar-benar realita atau hanya
bagian dari mimpi1, saya harus
menanggapi satu pertanyaan "how was
home?" dari kolega saya di kampus. Sebuah pertanyaan yang sangat
wajar karena akhirnya, saya ulangi sekali lagi AKHIRNYA, saya bisa menginjakkan
kaki di tanah kelahiran saya setelah 4 tahun berturut-turut tidak pulang. Saya
yang nyatanya sedang dalam situasi, meminjam terminologi T.S Eliot, drunk in fatigue, akhirnya
mencoba meresapi pertanyaan ini. "How
was home, really?"
Dalam meresapi
pertanyaan ini saya bukan hanya mencoba untuk memanggil kembali ingatan saya
tentang kampung halaman tapi juga mencoba untuk menganalisa makna dari
pertanyaan itu sendiri. Pertama, pertanyaan itu bisa bermakna kondisi rumah.
Kedua, pertanyaan itu bisa bermakna bagaimana keadaan keluarga karena home
adalah sebuah metonymy untuk keluarga. Semua hal ini muncul satu persatu bagai
foto yang bemunculan di laman google saat dibuka dari komputer dengan jaringan
super lelet.
Setelah semua
pikiran ini bermunculan saya pun mempertanyakan kembali ketololan saya. Kenapa
saya harus mengabil pusing pertanyan yang bisa dijawab dengan kalimat basa-basi
klasik seperti, "home was fine. I have a
great summer, and my family was fine too. Everybody was so happy and bla..
Bla.. Bla..". Lagian, mungkin saja pertanyaan tersebut keluar dalam
rangka basa-basi, kenapa saya harus pusing?
Terlanjur basah,
saya pun melanjutkan resapan paska kepulangan saya dengan khusuk. Dengan sangat
menyesal saya harus jujur pada diri sendiri bahwa ekspektasi saya tidak
terbayarkan. Keadaan kampung halaman masih saja sama seperti saya tinggalkan
empat tahun lalu. Ada satu dua hal yang berubah, dan itu pun sangat tidak
signifikan.
Di kabupaten
Bener Meriah, misalnya, perubahan yang sangat terlihat jelas adalah adanya
landasan terbang yang lebih baik. Saya
menekankan kata lebih baik karena
sebenarnya landasan terbang ini sudah ada sejak pertengahan tahun 2000-an. Saya
ingat betul hari pembukaan landasan terbang ini, saya beserta keluarga
berduyun-duyun hanya untuk merayakan hari peresmiannya. Cukup senang bahwa
landasan terbang ini diperbaiki, artinya ada opsi tambahan bagi saya ketika
akan pulang selanjutnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, opsi yang saya
punya hanya menaiki kendaraan darat yang
memaksa saya harus menempuh belasan jam untuk sampai di rumah.
Meskipun
demikian, ada satu hal yang saya sangat harapkan, permainan harga. Semoga di
masa yang akan datang harga tiket pesawat bisa sedikit lebih rasional. Saat ini
dikarenakan oleh kondisi dimana satu-satunya maskapi penerbangan yang
beroperasi mengakat penumpang dari dari ke bandara Rembele (TXE) adalah
Wingsair, anak dari perusahaan penerbangan Lionair, masyarakat tidak bisa
komplain melainkan mengambil opsi yang ada. Adapun perkiraan harganya adalah
IDR 275-300K untung tiket promo dan IDR 400-500K untuk tiket normal.
Dibandingkan dengan tiket bus antar kota? Dua kali lipat. Harga normal tiket
bus antar kota Bener Meriah - Banda Aceh adalah IDR 120K, sedangkan Bener
Meriah Medan adalah IDR 140K.
Selebihnya,
perkembangan apa yang sedang terjadi di kampung halaman? Secara politik,
permasalahan pilitik klasik masih mendominasi instansi pemerintahan lokal
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
Permasalahan
moral juga semakin menjadi konsern banyak masyarakat, salah satunya adalah
permasalah free sex, tren yang sedang
naik daun di kalangan anak muda di daerah terpencil. Efek dari pergaulan bebas
ini adalah banyaknya pernikahan dini. Sebuah peraturan adat di Aceh bahwa
ketika ada pemuda dan pemudi yang kepergok melakukan hubungan diluar nikah,
maka mereka harus dinikahkan SEGERA, tidak perduli apakah mereka sampai umur
atau tidak. Sebuah peraturan yang memerlukan banyak perdebatan dan analisa
terutama secara agama, sosial, budaya dan kemaslahatan si individu. Efek dari
pernikahan dini ini adalah bertambahnya populasi, tentu. Tapi dalam waktu
bersamaan juga bertambahnya para pekerja non-profesional. Hal terakhir yang
mereka bisa geluti, dalam hal profesi, adalah menjadi petani, dan petani. Jika
ini terjadi maka siklus keluarga mereka tidak akan berubah. Jika hal ini
terjadi maka kehidupan masyarakat perkampungan bisa ditebak bahwa keturunan
dari pernikahan dini ini juga memungkinkan untuk jatuh pada lubang yang sama.
Dan siklus ini akan berulang lagi, berulang lagi, sampai saat ketika masyarakat
sadar bahwa pendidikan sangat penting. Bahwa mengetahui perkembangan teknologi
penting. Jangan ikuti kemauan anak anda untuk membeli telepon genggam saat dia
masih SD. Dan berikan pemahaman pada anak-anak bahwa hidup ini keras!
Kedua, efek yang
paling tragis dari pernikahan dini ini adalah angka perceraian yang semakin
meningkat. Mari hadapi bersama, bahwa mereka masih sangat belia. Pernikahan
bukanlah hal yang bisa mereka hadapi. Dengan umur yang masih relatif muda, ego
masing-masing masih sangat tinggi. Belum lagi permsalahan sifat
kekanak-kanakan. Ujung-ujungnya adalah perceraian. Salah seorang wartwan asalah
kota Takengon bahkan dengan lancang mengatakan bahwa faktor mengapa angka
perceraian di Aceh Tengah tinggi beberapa tahun kebelakangan ini bukan
semata-mata karena dalam lapangan begitu adanya, tapi karena dalam jangka waktu
itu Bener Meriah masih menumpang di Pengadilan Agama Aceh Tengah. Dengan kata
lian, dia mengatakan bahwa sebenarnya angka perceraian tersebut adalah milik
Bener Meriah. J
(what the heck,
saya bukan seorang ahli dalam keluarga, saya hanya ahli dalam mengetahui bahwa
hidup dalam garis kemiskinan itu sangat sulit. Bayangkan jika anda memiliki
anak yang sangat berpotensi tapi anda tidak mampu secara finansial, apakah anda
tidak merasa bersalah?)
Permasalahan
selanjutnya adalah lapangan pekerjaan yang
sangat minim dan sistem tenaga kerja yang membunuh. Dalam momen
kepulangan saya kemarin, saya juga berkesempatan untuk berkumpul dengan teman
SMP saya. Topik perbincangan kami saat berkumpul adalah tentang lapangan
pekerjaan di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Mereka yang dominannya berkuliah di
jurusan kesehatan (dokter, bidan, perawat dll), frustrasi dengan keadaan.
Bayangkan saja gaji bidan honor di desa hanya sebesar IDR200k, dan itu pun
dibayar tiga bulan sekali. Apakah ini manusiawi? Pertama mereka terpaksa masuk dalam sistem (menjadi bidan
honor,) karena tidak ada pilihan lain. Kedua setelah masuk dalam sistem mereka
harus masih disiksa dengan birokrasi yang rumit. Saya jadi bertanya-tanya
apakah sistem tenaga honorer yang disediakan pemerintah layak untuk dilanjutkan?
Mengingat karena sistem-nya yang sangat PHP, meminjam terminologi anak muda
kekinian.
Dalam observasi
saya selama di kampung halaman saya menemukan fakta di lapangan bahwa ada
banyak sekali pegawai honorer di kantor pemerintahan (guru, pegawai kantor
pemda dll) yang sudah mengabdi selama 10 tahun lebih tanpa ada kepastian bakal
di angkat menjadi pegawai negeri atau tidak. Ini sangat tidak manusiawi.
Bagaimana mereka akan menghidupi keluarganya dengan gaji yang hanya cukup untuk
membayar uang transportasi mereka ke kantor saja. Ironisnya, kondisi kantor
pemerintahan juga jauh dari memuaskan. Dikarenakan kondisi pada era modern ini
semua pekerjaan menggunakan komputer dan internet, banyak karyawan generasi tua
yang tidak bisa beradaptasi. Dilapangan, yang paling banyak mengerjakan
pekerjaan adalah tenaga honorer. Para pegawai negeri? Mereka hanya duduk santai
dan sesekali menandatangani dokumen. "Apakah mereka tahu proker
mereka?" Sebuah pertanyaan besar yang mengaung di kepala saya.
Saya semakin
bertanya-tanya, apakah korupsi di Indonesia semata-semata salah dari para
koruptor atau korupsi di Indonesia hanya buah yang harus dipetik oleh Indonesia
karena sistem birokrasi yang ia tanam. Para pegawai negeri itu mengalami masa
kepegawaian yang sulit selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya mereka di angkat
menjadi pegawai negeri. Lalu apakah korupsi menjadi bentuk balas dendam mereka?
Tidak ada yang tahu. Saran pribadi saya hapuskan sistem tenaga honorer kalau
hanyak untuk mengeksploitasi para tenaga kerja honorer. Jadi pegawai negeri
atau tidak usah buka lowongan sama sekali. TITIK.
Saya juga
menyarankan untuk kita semua untuk tidak berharap menjadi pegawai negeri. Mari
kita mencoba untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar menjadi pegawai negeri
bukan satu-satunya opsi yang dimili oleh para sarjanawan muda.
Kembali ke
pertanyaan awal "how was home?",
akhirnya setelah berpikir panjang saya pun memilih untuk menjawab pertanyaan
dengan cara basa-basi. "Everything was
great, except it ends so fast. I wish I could stay at home longer."
0 comments:
Post a Comment