Cerita Tentang Salju dan Alasan Bersekolah Keluar Negeri

Galati Romania Januari 2016

Hari ini adalah hari pertama salju turun dikota Manisa di musim dingin tahun 2016 ini. Tidak ada kepastian apakah salju akan turun lagi atau tidak. Selama tiga tahun lebih berada di kota Manisa, hampir setiap tahun salju turun. Setidaknya begitulah pengakuan dari teman-teman saya. Kebetulan dalam waktu tiga tahun saya tinggal di kota Manisa, baru sekali saya merasakan musim dingin di Manisa dan kali ini adalah kali kedua saya. Satu tahun lainnya, saya waktu itu berada di Romania mengikuti program pertukaran pelajar. Disana juga sama. salju turun bahkan lebih banyak dari yang ada di kota Manisa, Turki.

Kini bahkan perkiraan cuaca pun tidak bisa di percaya lagi. Terkadang cuaca yang sedang berlangsung berbeda dengan yang ada di perkiraan cuaca. Entah apa maksud dari semua ini. Apakah ini berarti bahwa segala teori yang dikaitkan dengan cuaca benar? Apakah pemanasan atau pendinginan global itu benar adanya? Entahlah. Yang jelas, kini cucaca jadi sulit untuk diprediksi.

Berbicara tentang salju dan cuaca, saya jadi tertarik untuk mengingat-ingat kembali alasan apa yang membuat saya begitu tertarik untuk ke luar negeri. Banyak orang Indonesia yang teratarik untuk bersekolah keluar negeri karena alasan ingin merasakan suasana baru. Bahkan tidak sering ada yang berceletuk: Indonesian kan cuacanya gitu-gitu aja atau bahkan ada yang lebih to the point mau tau rasanya pas ada salju.

Tapi kalau mengingat-ingat, rasanya saya tidak pernah menjadikan cuaca jadi alasan saya untuk bersekolah keluar negeri. Tapi kembali lagi, pergi keluar negeri bukanlah plan A saya waktu itu. Mungkin saja secara mental sebenarnya saya belum siap untuk keluar negeri. Saat itu saya berencana untuk melanjutkan kuliah ke pulau Jawa (terutama ke Jogja). Tidak tahu pasti kenapa, nama Jogja terdengar begitu seksi di telinga saya. Terlebih lagi dengan julukkannya sebagai kota pelajar. (Oke saya bohong. Saya tahu kenapa. Saya sudah reset dan menurut riset yang saya lakukan jurusan hubungan internasional di UMY itu bagus. Setidaknya dari semua universitas swasta yang ada di sana).

Jadi saya punya teori masa kecil. Sebagai seorang anak yang berasal dari kota kecil dipedalaman saya menchallenge diri saya dengan menyediakan rencana hidup setiap tahunnya. Hingga akhirnya saya berada pada satu titik dimana saya tahu apa yang saya mau. Saya mau hidup saya itu seperti menaiki tangga. Saya mau ada peningkatan di setiap jenjang pendidikan. Saya ingin berada ditangga yang lebih tinggi setiap tahunnya. Dan hal itu hanya bisa saya capai dengan mengunjungi pusat-pusat seni dan budaya. Desa dipedalaman tentu bukanlah tempat untuk hal itu. Jadi saya berencana untuk: 1. menyelesaikan SD ditingkat desa; 2. SMP tingkat kabupaten; 3. SMA tingkat provinsi; S1 tingkat pulau atau nasional; S2 dst barulah ke luar negeri.

Namun ketika akhirnya kesempatan untuk pergi ke luar negeri datang, bukan hanyak sekedar untuk jalan-jalan tapi untuk bersekolah, saya pun akhirnya menikmati segala asam, manis, pahit kehidupan yang ada disana. Dengan keadaan mental dan informasi yang belum mumpuni waktu itu, tidak heran jika akhirnya saya berakhir dengan banyaknya hal-hal yang pahit. Inonisnya, segala pelajaran hidup datang dari hal-hal yang berbau negatif. Dan dengan alasan itulah sekarang dengan lantang saya bisa mengatakan bahwa seberapa pahitpun kehidupan yang saya harus jalani selama kehidupan saya di Turki, saya tidak adakan menukarnya dengan sebotol teh manis. Pelajaran hidup begitu manis ketika di warnai oleh hal-hal yang pahit. 

Walaupun begitu saya tidak menapik bahwa melihat salju adalah salah satu bonus yang saya dapat setelah akhirnya berada di luar negeri. Seperti orang-orang yang berasal dari negara yang berikilim tropis lainnya saya tentu sangat senang ketika bisa melihat salju secara langsung. saya pun tidak menyia-nyiakan kesemptan untuk berfoto ria dan lain-lain. Namun seperti halnya yang dikatakan oleh professor David Gale dalam film "The life of David Gale," ketika memberikan kuliah tentang salah satu Psycholanalysist, Jacque Lacan, dia mengatakan "In order to continue to exist desire must have its object prepetually absent." Satu penggambaran yang sangat sesuai dengan konsep desire (saya tidak tahu padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia). Jadi salju hanya indah dan menggemaskan saat kita tidak bisa melihatnya secara langsung. Sesaat ketika kesempatan untuk melihat salju hadir, saat itu pula bayangan tentang salju yang ada dikepala kita hilang dengan tiba. Dan kata-kata sepeti, "oh.. gini toh rasanya pas ada salju" pun secara tak terelakkan muncul.

Kembali lagi ke memori saya pra-menginjankkan kaki ke luar negeri. Sepertinya dulu saya lebih tertarik untuk melihat pohon maple dari pada salju. Atau mungkin kedua-duanya. Entahlah. Ingatan manusia sangatlah bias.

Jadi diwaktu saya SMA novel "Trilogi Negeri Lima Menara" sedang beredar dipasaran. Saya tidak membeli kopi buku ini. Salah satu teman sekelas saya (sekarang jadi teman saya yang paling dekat; jika definisi dekat adalah masih saling bertukar salam walaupun sudah dipisahkan oleh jarak) yang punya buku ini hadiah dari orangtuanya yang baru pulang dinas kekota lain. Tertarik, saya pun langsung meminjam. Saya ucapkan selamat kepada penerbit yang tahu sekali cara mengambil hati konsumen dengan menyediakan pembatas buku yang berbentuk daun maple. Sampai-sampai saya terobsesi ingin melihat daun maple mengering disaat musim gugur. That being said, gugur adalah musim yang paling saya sukai deri semua musim yang ada.

Terlepas dari pembicaraan musim dan kaitannya dengan keinginan anak-anak Indonesia untuk bersekolah ke luar negeri, saya ingin sedikit membahas tentang niat. Dalam Islam kita diajarkan bahwa segalanya kembali kepada niat. Buruk ataupun baiknya segala hal itu ditentukan oleh niat yang kita miliki diawal tindakan. Jadi alangkah baiknya jika ingin bersekolah keluar negeri dibarengi dengan niat yang indah. Agar segala tidakan kita benilai ibadah. Dan bagi saya pribadi niat sama posisinya dengan alasan. Jadi semakin bagus niat kita, semakin bagus pula alasan kita. Dan alasan adalah penentu paling besar dalam pendaftaran sebuah beasiswa. Menuliskan: saya ingin bersekolah di negara A karena dengan begitu saya bisa melihat salju, rasanya bukan alasan yang akan meloloskan anda dalam pendaftaran sebuah beasiswa. Jadi untuk kalian yang sebentar lagi akan mendaftar beasiswa Master Pemerintah Turki, saatnya berkontemplasi dalam menulis letter of Motivation kalian. Tuliskan apa yang ada dalam kata hati kalian. Dan pastikan yang adalah mata hati kalian adalah hal yang disukai oleh pihak pemberi beasiswa.

0 comments: