courtesy: pinterest.com |
Digitalisasi hadir dan merubah hidup manusia seutuhnya. Bagi
yang terlahir di era sebelum digitalisasi menjadi sebuah fenomena, sekali memutuskan
menjadi manusia digital tidak ada kata kembali. Begitu juga bagi mereka yang
terlahir diera ketika digitalisasi telah menjadi sebuah kenormalan (kaum
milenial), mereka juga tidak bisa memutuskan untuk tidak menjadi bagian dari
kehidupan itu. Mereka terjebak didalamnya.
Kendatipun digitalisasi sering dilihat sebagai sebuah hal
positif, tidak dipungkiri pula bahwa digitalisasi juga memiliki tendesi untuk
mendatangkan hal negatif pada kehidupan sosial. Fenomena sosial media,
misalnya, awalnya dimaksudkan untuk menghubungkan manusia yang dipisahkan oleh
jarak. Namun semakin berjalannya waktu, sosial media berubah menjadi tempat
dimana makna “kebenaran” semakin dipertanyakan. Bukan hanya itu, kehadiran media
sosial juga menjadi pertanda bermulanya era narsisme. Kaum maya semakin gemar memamerkan
kehidupan pribadinya demi pujian dan “like”. Disinilah makna “kebenaran” menjadi semakin
dipertanyakan. Postingan bukan lagi orisinil. Semua termotivasi oleh sebuah
pritensi. Kembali lagi semua, ini dilakukan demi sebongkah hujan pujian dan “like.”
Andai saja hal itu adalah akhir dari cerita ini.
Kenyatanyannya, bukan. Kehidupan maya menjadi lebih riil dari kehidupan nyata
sekalipun. Disana lemparan hujatan dan hinaat bersangkar. Setidaknya didunia
nyata kita masih berpikir dua kali sebelum menggunakan kata kasar. Namun hadirnya
dunia maya seolah memberi ruang kepada para manusia berbulu domba untuk unjuk
diri. Mereka bisa berpura-pura menjadi A di akun sosial medianya, lalu dengan
mudahnya meluapkan segala sisi hitamnya. Ditambah dengan fakta bahwa di dunia
maya kita bisa menutup muka, atau menggunakan topeng tanpa diketahui siapa pun.
Kalaupun ada kemungkinan untuk tertangkap, pasti sangat kecil karena yang punya
akses kesana hanyalah para ahli.
Kata-kata mutiara “When you’re in Rome, be a Roman”
sepertinya sangat cocok pada situasi kita kali ini. Dunia telah berubah menjadi
digital. Namun kita tidak selayaknya menanggalkan sisi manusia yang ada dalam
diri kita. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk tetap menjadi manusia yang
manusiawi walaupun digitalisasi seolah mengambil alih kehidupan? Ada satu nilai
yang tetap universal – TOLERANSI. Dengan sedikit pembaharuan, nilai yang telah
lama ada dalam masyarakat ini pun akan mampu menjaga dunia tetap aman, tentram
dan madani.
Lalu toleransi seperti apakah yang layak kita aplikasikan
di dunia digital ini? Banyak! Salah satu dan yang terkecil kita bisa memulainya
dengan mendidik diri kita pribadi tentang informasi. Bahwa tidak semua
informasi yang ada didunia maya bisa dipercaya. Kita harus memverifikasi
terlebih dahulu sebelum beropini. Bisa saja berita tersebut diserabar untuk
memprovokasi masa demi agenda pribadi. Terutama berita yang berbau politik dan
agama. Jangan sampai pandangan politik dan agama kita membuat kita menjadi
manusia yang buruk. Padahal didunia digital ini semua individu dianggap menjadi
reprisentasi kelompok dimana kita menjadi bagiannya. Misalnya, kamu adalah seorang
muslim, dan karena pandangan pribadi mu tentang suatu hal, agama mu secara
keseluruhan bisa dicap dengan mudahnya. Bagi
manusia berpendidikan pasti sudah paham bahwa opini seseorang tidak
mereprisentasikan kelompoknya. Namun sayangnya hidup kita dikelilingi oleh manusia dangkal, jadi berhati-hatilah
agar kita tidak tenggelam di air yang dangkal. Akan sangat memalukan sekali
jika itu terjadi.
Selanjutnya mungkin kita bisa melihat sekitar sejenak
sebelum bertindak. Dan karena kita hidup didunia maya, mungkin kita bisa
mengambil waktu sejenak sebelum memosting sesuatu. Pikirkan apakah postingan
kita itu benar atau tidak. Jangan sampai karena postingan kita atau link yang
kita bagikan kita malah menyebarkan fitnah. Kalau fitnah berupa lisan bisa
hilang di makan waktu (setidaknya didunia ini,) tapi didunia maya
terdokumentasi secara riil. Jadi, hati-hati. Jangan mudah terprovokasi, dan
jangan mudah klik share.
Satu lagi, yang sangat mengganggu saya pribadi. Saya tidak
masalah kalau semua manusia yang saya temui di transportasi umum atau di tempat
umum lainnya sibuk dengan gadget-nya.
Yang menjadi masalah bagi saya pribadi adalah ketika mereka dengan gampangnya
menyalakan video atau musik dari gadgetnya tanpa memikirkan orang disekitarnya.
Musik dan video itu mengeluarkan suara. Seperti hal yang bersuara lainnya, ini
kerap menggangu orang disekitar. Ada banyak orang yang sedang melakukan hal
penting lain seperti membaca dan berpikir. Jadi kembali lagi, jadilah manusia
toleran. Kalau ingin mendengarkan musik dan video, gunakan headset agar tidak mengganggu orang disekitar. Dan ketika sudah
menggunakan headset pastikan bahwa volume-nya masih normal. Percuma kalau
pakai headset, kalau orang disekitar masih bisa mendengar lagu Justin Bieber
yang kamu dengar.
Sekian dari saya cara agar tetap menjadi manusia yang
manusiawi di era digital ini. Kalau kalian punya ide lain, silahkan komen
dibawah ini. Salam. Selamat bermalam minggu.
0 comments:
Post a Comment