AMBA oleh Laksmi Pamuntjak






Setelah beberapa bulan on and off membaca buku karya mba Laksmi Pamuntjak ini, akhirnya saya rampung juga. Sejujurnya, selama proses membaca buku ini saya berulang kali berubah pikiran tentang pendapat saya mengenai buku ini. Awalnya saya merasa ada kejanggalan dari segi bahasa dan saya berasumsi bahwa hal ini terjadi karena pada dasarnya buku ini ditulis dalam bahasa Inggris sebelum akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Jadi, seperti umumnya novel terjemahan yang beredar di Indonesia, selalu ada keganjilan dari segi bahasa. Asumsi kedua saya, mungkin hal ini terjadi karena bahasa Indonesia yang kita gunakan selalu dipengaruhi oleh bahasa daerah atau bahasa ibu; bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek Jawa misalnya atau bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek Melayu. Selalu ada kekhasan tersendiri dari tiap-tiap penulis dengan latar belakang mereka masing-masing yang membuat pembaca dari latar belakang berbeda merasa kesulitan meresonasi cerita tersebut kepengalaman mereka pribadi. Namun pendapat saya berubah seiring dengan bertambahnya bab yang saya baca. Dan akhirnya perasan ini konsisten hingga bab terakhir, yaitu saya sangat mengacungkan jempol terhadap novel ini.

“Karya ini merupakan karya fiksi berlatar belakang sejarah. Sejumlah tempat seperti Kadipura, Rumah Sakit Waepo, dan Rumah Sakit Sono Walujo di Kediri adalah fiktif. Adegan-adegan Srimulat dan adegan-adegan si Sanggar Bumi Tarung juga merupakan buah imajinasi pengarang. Dan meskipun serbuan ke Universitas Res Publica, Yogyakarta, pada 19 Oktober 1965 terjadi siang hari, pengarang memindahkannya ke malam hari”

Novel ini diawali dengan alenia di atas, yang menurut saya sangat sukses utuk merangkumkan seluruh isi novel ini. Sebuah hiperbola memang, karena tidak mungkin sebuah alinea mampu menggambarkan seluruh isi cerita.

Secara singkat, “Amba” ada sebuah novel yang bercerita tentang kisah cinta dua insan, Amba dan Bhisma, yang terpisah karena tragedi terbesar yang pernah ada di Indonesia yaitu penyerbuan Universitas Res Publica di tahun 1965 yang juga berhubungan dengan kasus PKI di Indonesia. Dan yang novel ini coba gambarkan adalah hidup paska kejadian ini. Dimana Amba dan Bhisma telah berpisah selama 40 tahun, namun masih memendam cinta mereka dalam-dalam.

Novel ini dibagi menjadi 7 buku (bab dalam bentuk tebal,) dimana setiap buku terdiri dari bab-bab. Setiap bab mengangkat kisah yang berbeda-beda. Dan dalam perjalanannya, kisah hidup setiap tokoh secara berangsur-angsur dikemukakan. Meskipun begitu cerita dalam novel ini tidak berbentuk linear, melainkan acak. Di buku pertama, misalnya, berawal dari pencarian panjang Amba akan keadan dan situasi Bisma paska usainya masa tahanan di Buru. Namun di buku selanjutnya, pembaca malah di bawa mengeksplorasi kehidupan Amba dari masa kecilnya hingga akhirnya bertemu Bisma.

Melalui Bab ini, saya, sebagai pembaca yang masih awam akan kisah Mahabrata, akhirnya mampu memahami referensi yang secara sadar dipakai oleh mba Laksmi terhadap pemilihan nama para tokoh seperti Amba, Bhisma, dan Salwa. Hal ini menambah kekayaan novel ini. Juga dengan begitu mengangkat salah satu tema yang disematkan kedalam seluruh cerita yaitu perbedatan antara Takdir atau Nasib dan Nama. Didalam budaya Indonesia kita selalu diingatkan oleh pentingnya nama. Dan konon, nama yang diberikan kepada seorang anak akan menentukan nasibnya. Didalam novel ini kita juga menyaksikan perdebatan ini. Apakah Amba, nama yang diambil dari salah satu tokoh Mahabrata, akan hidup persis seperti cerita dalam Mitologi tersebut?

Selain itu, sisi lain buku ini adalah tentang keinginan untuk menujukkan sisi lain dari sejarah. Dalam salah satu wawancara, Mba Laksmi pernah mengatakan bahwa alasan beliau menulis buku ini adalah karena kegelisahan beliau terhadap situasi sejarah Indonesia yang sangat sempit. Penguasa mengatur narasi sejarah. Akibatnya, kita sebagai masyarakat hanya tahu satu sisi koin sejarah tersebut. Karenanya novel ini, meskipun bebentuk fiksi, mencoba untuk menghadirkan sisi koin lainnya.

Jujur saya akui, sebagai seorang yang terlahir dipertengahan tahun 90an, saya memiliki pengetahuan sejarah yang sangat minim. Bahkan kalau kalian menanyai saya tentang G30S/PKI, saya tidak bisa mengatakan apa-apa selain: tragedi terbesar di Indonesia yang juga menyebabkan diturunkannya presiden Soekarno. Menurut perbincangan saya dengan orang yang lebih dewasa dari saya, dulu mereka sempat dipaksa menonton film dokumentasi yang berbau propaganda tentang kekejaman PKI. (Alhamdulillah hal seperti ini tidak lagi diberlakukan di generasi saya) Hal ini membuat masyarakat Indonesia membenci hal-hal yang berbau PKI. Namun seperti saya katakan tadi, didalam rejim yang dipimpin oleh seorang dictator, bisa dipastikan bahwa sisi sejarah yang kita ketahui hanyalah satu dari seluruh versi yang ada. Dan saya sangat senang sekali ada seorang penulis yang mencoba mengisi versi–versi sejarah dari sisi lainnya. 

Bhisma, misalkan, seorang tokoh yang digambarkan memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis di Indonesia namun secara pribadi tidak melihat ada persamaan visi dan misi dengan mereka. Keikutsertaannya dalam partai tersebut murni karena solidaritas terhadap beberapa tokoh yang ada di partai tersebut. Namun secara individual, Bhisma melihat sisi komunisme yang ada di Indonesia sebagai hal yang ambruk yang tidak sesuai dengan kodratnya. Bhisma juga menyayangkan sisi fanatisme terhadap Stalin dan tokoh-tokoh komunisme Rusia lainnya. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan di Jerman Barat, Bhisma sadar bahwa tokoh-tokoh tersebut telah kehilangan pamornya disana. Bahwa Negara lain yang juga menjunjung nilai komunisme tak lagi melihat tokoh tersebut sebagai bintang, namun perusak nilai komunisme itu sendiri melalui kediktatorannya. Namun Bhisma hanya diam dan memokuskan dirinya untuk menolong negeri. Sebagai seorang yang berasal dari keluarga Borjui, Bhisma memilih hidup jauh dari kenyamanan walaupun sebenarnya dia bisa saja menjadi dokter kondang di Jakarta dan hidup nyaman. Dia memilih untuk mengabdi di daerah terpencil debagai dokter. Bahkan ketika dia berada di Buru sekalipun, dia masih tetap pada pendiriannya untuk mengabdi kepada negeri. Dalam salah satu bab saya terhentak oleh salah satu alinea dimana Bhisma menyayangkan orang yang hanya ikut-ikutan dalam partai tersebut, “bahkan mereka belum pernah membaca buku Karl Marx ‘Das Kapitalis’” katanya. Dan benar, bukan hanya dalam kasus PKI tapi dalam kasus-kasus –ism –ism lainnya dan bahkan agama, kebanyakan orang-orang yang berakhir dengan radikalisme dan kekerasan adalah orang yang tidak mengerti tentang paham yang mereka anut. Mereka menjadi bagian paham tersebut hanya mengandalkan hasutan dan ikut-ikutan. Tanpa perduli untuk belajar sedikitpun.

Jadi setidaknya ada tiga sisi yang bisa kita jadikan pelajaran dalam novel ini:

1.        Sisi Kesusastraan Asia “Mahabrata”. Dengan membaca novel ini kita mampu melestarikan budaya dan sastra Asia

2.      Sisi Sejarah Indonesia. Dengan membaca buku ini kita bisa melihat sisi sejarah Indonesia dengan kaca mata yang berbeda

3.       Kisah cinta yang berlatar sejarah dan selain itu juga mengikuti bingkai kisah yang ada dalam “Mahabrata”.


Rasanya sebutan yang tepat untuk novel ini adalah historiographic metafiction. Kebetulan beberapa kesempatan lalu saya sempat belajar Posmodernisme, dimana kami membaca artikel dari teoritisi seperti Linda Hutheon, Fredric Jameson dan Jean Baudrillard. Adalah Hutheon yang berpendapat bahwa sastra Postmodernisme memiliki keunikan tersendiri dan beliau pun menciptakan salah satu terminologi yang saya sebutkan tadi, histeriograhic metafiction yang secara gamblang memiliki makna: sebuah karya fiksi yang mengandung sisi sejarah dan juga fiksi yang bercerita tentang fiksi. Dalam hal ini kita bisa melihat novel “Amba” sebagai sebuah karya fiksi. Namun dalam waktu bersamaan dalam novel ini kita melihat adanya intertextuality dan parody “Mahabrata” dan tulisan-tulisan dari penulis barat lainnya seperti T.S. Eliot. Rosa Luxemburg dan lain-lain. 

Akhir kata, novel ini adalah novel yang sangat kaya akan pembelajaran. Sebagai seorang mahasiswa jurusan sastra, saya merasa sangat senang bisa membaca buku ini. Karena dalam buku ini saya bisa mengeksplorasi gaya tulisan, sejarah, juga kesusatraan yang belum saya sentuh sebelumnya. Saya memberikan 4.5 dari 5.










0 comments: