courtesy of http://blog.socialintent.com |
Sadarkah kita bahwa segalanya berubah sangat cepat akhir-akhir ini? Salah satu factor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kemajuan dibidang teknologi. Didalam teknologi komunikasi, misalnya, lima belas tahun lalu saya belum mengenal yang namanya telepon genggam. Bahkan telepon rumah saja, keluarga saya tidak punya. Tapi memang saat itu kami tidak membutuhkannya. Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk memaksakan diri untuk punya telepon rumah. Lebih-lebih konflik militer masih berlangsung di Aceh saat itu. Punya teknologi secanggih telepon rumah bisa menjadi masalah besar. Pihak GAM bisa menganggap sipemilik telepon mata-mata. Dan pihak milisi akan berpikir sama. Lima belas tahun lalu, ditempat saya tinggal mungkin hanya ada satu atau dua keluarga yang punya telepon rumah. Itu pun karena mereka memang sangat membutuhkannya, bisa karena salah satu anggota keluarganya yang berada di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lain-lain. Saya masih ingat waktu salah satu abang saya sempat merantau di Bandung, bapak saya kerap menumpang ke rumah orang lain di kampung seberang untuk menggunakan telepon rumah mereka. Era yang sangat aneh memang.
Kemudian telepon gengang mulai bermunculan. Kalau di Negara lain atau di kota besar seperti Jakarta, mungkin telepon genggam sudah muncul di awal tahun 90-an atau bahkan malah lebih awal lagi. Tapi di kota-ku, Aceh Tengah, waktu itu, sekarang sudah mekar menjadi kabupaten Bener Meriah, seingat saya, telepon genggam baru muncul di awal atau pertengahan tahun 2000-an. HP yang pertama muncul, tentu saja, seperti yang masih segar dalam ingatan kita, adalah Nokia 7600. Dengan bentuk fisiknya yang besar dan masih sangat minim aplikasi. Bahkan mungkin kata “aplikasi” saja tidak cocok untuk disandingkan dengan hape yang satu ini. Di awal atau pertengahan tahun 2000-an, seperti halnya telepon rumah, masih sangat sedikit orang yang memiliki telepon genggam. Bagi yang kebetulan punya telepon genggam ditahun ini, mereka terpaksa harus memilikinya memang karena kebutuhan. Mungkin karena anaknya yang merantau di kota besar atau karena bisnis perdagangan (kopi, spare parts motor, dll) yang memaksanya harus memiliki hape guna mempermudah komunikasi dengan dealer, agen, dan lain-lain.
Untuk kota kecil seperti Bener Meriah, memiliki hape bisa menjadi subuah teater tersendiri. Orang-orang udik seperti saya sangat mudah sekali ditakjubkan oleh sesuatu. Melihat si pemilik hape lari ke daerah yang lebih tinggi dengan harapan sinyal bisa lebih baik adalah makna hiburan sesungguhnya. Selain takjub dengan konsep hape waktu itu, saya juga menaruh minat yang sangat tinggi pada teknologi.
Pertengah akhir 2000-an abang ku yang tadinya merantau di Bandung pulang. Awalnya ingin kuliah disana, namun akhirnya memutuskan pulang ke Aceh untuk tes polisi. Pas pulang, dia bawa hape Sony Ericsson K510i. Saya ingat sering pencat-pencet hape-nya secara diam-diam terutama pas ditinggal dicharger. Tapi dimasa ini hape sudah bukan barang asing lagi. Sudah banyak orang yang punya hape. Bahkan dengan teknologi yang lebih canggih lagi. Mungkin saat itu-lah fungsi hape sudah berubah, bukan hanya sebagai penghubung orang-orang yang dipisahkan oleh jarak, tapi juga sebagai sebuah simbol yang akan menentukan status seseorang ditengah masyarkat berdasarkan kondisi ekonomi mereka.
Kemudian dunia SMP dimulai. Saya waktu itu berada di pondok selama tiga tahun. Selama saya disana tentu banyak progress berlangsung. Blackberry mulai bermunculan di kota kecil saya. Walaupun saya yakin waktu itu mereka, si pemilik Blackberry, belum tahun fungsi blackberry sesungguhnya. Mereka pakai blackberry hanya untuk kelihatan berkelas saja. Apalagi dengan kondisi sinyal telkomsel (satu-satunya provider yang masih ada waktu itu) yang buruk, kalaupun mereka faham fungsi BBM, email dan lain-lain, sinyal tidak mendukung.
Tahun 2008 atau tepatnya saat saya berada dibangku kelas 3 SMP, saya berkesempatan untuk ikut Jamboree Asean di Cibubur. Waktu di pondok, salah satu gadget yang saya sempat miliki adalah kamera tustel Nikon yang masih pakai roll film. Malu-malu in ya. Itu pun akhirnya disita sama bagian pengurus. Padahal rencananya mau dibawa ke Jamboree biar bisa mendokumentasikan semua kegiatan. Mungkin ada baiknya juga sih kamera itu disita, kalau aku bawa ke Jamboree mungkin aku bakal jadi cerita paling memalukan disana. Secara, kamera digital sudah ada waktu itu, walaupun yang punya baru hitungan jari. Dalam rombongan kami, yang punya kamera digital baru Pembina saja. Itu pun baru dua orang. Bukan kaya sekarang, sudah banyak yang punya kamera LSLR. Selain itu, hape dengan fasilitas kamera juga sudah banyak. Jadi kami juga pada bawa hape begituan.
Saya, tentu belum punya hape waktu itu, tapi abangku si nomer tiga punya. Somehow aku sukses meyakinkan orangtua ku dengan merengek dan lain-lain agar dia meminjamkan hapenya ke aku selama mengikuti kegiatan Jamboree ini. Hape-nya waktu itu lumayan bagus dan punya fasilitas kamera, Nokia 6300. Tapi sempat nyesal juga sih pakai hape dia. Karena pas pulang dari Jamboree, tiba-tiba hapenya rusak. Dan selanjutnya adalah perasaan nyesal dan bersalah tiada henti. Andai saja waktu itu aku pakai hape bapak aja, Sony, yang juga berkamera walaupun tidak sebagus Nokia 6300.
Sepulang dari Jamboree kebetulan saya mulai merasakan yang namanya berada dikelas 3 SMP, yang berarti sebentar lagi bakal mengikuti Ujian Akhir Nasional. Saya berkesempatan untuk punya hape lagi, yang saya dengan bangga bisa ngaku-ngaku punya hape pertama. Lagi-lagi aku pakai hape abangku tapi kali ini hape abang si nomer dua. Waktu itu hapenya adalah hape nokia berwarna lupa seri berapa.
SMA dimulai. Karena saya SMA di Banda Aceh, yang berarti 12 jam perjalanan untuk bisa ketemu orangtua, akhirnya saya dibelikan hape baru. Waktu itu saya lagi tergila-gila dengan N-gage sampai-sampai saya beli yang secondhand. Tapi setelah beberap hari pakai, dan ternyata rusak, akhirnya saya balikin. Ujung-ujungnya saya pake hape Nokia (lupa seri berapa), yang masih belum punya akses internet. Sampai akhirnya blackberry sudah sangat popular di sekolah. Semua orang punya blackberry. Beberapa orang punya Samsung android, yang membuat aku sekarang berpikir kalau aku bisa ngasih saran ke diriku dimasa lalu, aku bakal bilang: harusnya kamu beli android dari pada blackberry gemini. Di akhir kelas tiga aku akhirnya bisa beli blackberry itu yang aku sampai saat ini masih aku pakai (walaupun secara fungsi hanya bisa telpon dan SMS karena keypad-nya sudah pada copot dan tombol tengah atau yang aku kadang suka bilang “kursornya” sudah gak sensitif).
Tahun ketiga di Turki akhirnya berkesempatan beli Samsung Tab. 4 demi bisa akses whatsapp, karena blackberry sudah gak memungkinkan lagi. Jadi aku pakai dua gadget sekaligus hape untuk nerima SMS dan telpon, tablet untuk internet (whatsapp dll) dan baca buku.
Randomly taken from internet |
Tahun ke empat di Turki, akhirnya bisa pulang pertama kali ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum pulang ke Turki lagi, aku becanda mau ngambil hape abangku yang kebetulan I-phon 4, which is the worst iphone ever made! Karena waktu itu ada aksiden kecil, dimana pas kebetulan aku yang pegang hapenya tiba-tiba LSD belakangnya tiba-tiba bengkak. Akhirnya dia bilang, oke hapenya buat kamu aja. Jadi sekarang aku bisa memusiumkan blackberry Gemini yang aku pakai dari 2010 sampe 2016. Ironisnya, walaupun secara teknis aku sekarang pakai iphone 4, aku gak melihat ada bedanya dengan BB Gemini ku. Pertama, batre iphone 4 yang super annoyingly boros. Jadi tetap saja, untuk urusan internet aku pakai tab 4.
Intinya, teknologi berkembang pesat sekali bahkan terkadang aku merasa terlalu pesat. Kenapa teknologi munculnya tidak pergenerasi aja sih? Biar kita nggak terlalu shock-shock amat. Misalkan dulu kan sistematis banget tuh. Generasi 80-an teknologinya A. Generasi 90-an teknologinya B. Masuk ke generasi 2000-an, teknologinya langsung borongan. Hape muncul dengan teknologi yang super setiap harinya. Internet semakin cangih di tahun 2000. Kamera sudah bukan masalah lagi. Kalau ingat-ingat di tahun 2000an, foto masih di anggap benda berharga. Sekarang foto sudah beribu. Semua orang bisa foto setiap harinya bahkan ada fenomena yang disebut selfie. Dulu senyum di foto aja masih di anggap asing. Terus internet. Dulu YM segalanya. Saya belum tahu email sampai tahun 2009. 2008 saat ikut Jambore, pas di tanya email sama kontingen asal Malaysia dll, saya gak ngerti sama sekali.
Pas SMA di Banda Aceh baru punya akun facebook yang trand-nya waktu siapa punya teman paling banyak dia yang gaul, gak peduli teman itu orang yang kamu kenal atau tidak. Akhirnya teman di facebook jadi beribu-ribu, padahal gak pernah saling sapa sama sekali. Saya mutusin untuk tutup akun dengan teman beribu ini tahun lalu pas saya resmi punya nama baru. Selain facebook, twitter juga muncul saat saya masih di SMA. Di twitter, trandnya siapa yang nge-twit dengan teknologi orang ketiga. Kalau nge-twit dari komputer atau hape biasa dianggap gak cool. Paling cool waktu itu kalau twitnya pakai Ubersocial. Tiba-tiba pas kuliah Whatsapp, Line, Instagram, Snapchatt, dll muncul. Sampai pada saat dimana saya akhirnya menyerah untuk menjadi bagian generasi baru ini. Saya gak mau punya akun snapchatt. Titik! Belum lagi yang namanya Vlog. Saya suka ikutin channel youtube, tapi bukan yang vlog. Vlog, bagi saya sudah melewati batas. Just to clarify, vlog dalam kamus saya, channel youtube yang isinya satu atau dua orang yang sibuk dengan dirinya sendiri dan membaginya kekhalak ramai. Kalau channel youtube yang berisi konten menarik dan worth of attention, saya gak mempermasalahkan.
Segalanya berjalan begitu cepat! I can’t keep up with the world anymore. Didunia saya, Sastra, hal ini dibahas di angkatan postmodernisme, dimana angkatan ini muncul sebagai reaksi dan juga kelanjutan dari angkatan sebelumnya (hal ini masih menjadi perdebatan.) Salah satu hal yang dibahas dalam angkatan ini adalah betapa pendapat angakatan Enlightenment tidak benar sama sekali. Angkatan Enlightenment mengkatan bahwa progress itu baik dan penting. Namun sebagai manusia yang hidup dari hasil sebuah progress, kaum postmodernism menyangkal hal itu. Progress dan ilmu pengetahuan dan lagis tidak selamanya penting dan bagus. Lihatlah kondisi kami saat ini, kami sangat tidak terorganisir sama sekali. Pemikiran kami terpecah kemana-mana karena informasi bergerak begitu cepat, efek dari digitalisasi dan kepesatan teknologi. Belum lagi dengan adanya makanan instan, instant messaging, media sosial dan lain-lain, 24 jam tidak cukup lagi untuk bisa memahami keadaan dunia saat ini. Emosi kita dapat dimanipulasi dalam hitungan dekit. Ketika kita melihat video youtube bertama komedi, kita tertawa. Semenit berikutnya kita menangis menyaksikan video korban perang di Suriah. Dunia ini gila! Para Ilmuan yang tidak sepakat dengan konsep postmodernisme berargumentasi dengan kegilaan era ini. Frederic Jameson dan Jean Baudrillard, misalnya, kedua tokoh ini sangat concern dengan kondisi posmodernisme yang semakin hari membuat orang yang hidup didalamnya semakin tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana hayalan lagi. Baudrillard menyebutnya simulacra. Jameson menyebut kondisi ini dengan generasi yang terputus dari sejarah. Walaupun di dalam produksi karya postmodernisme sering ada unsur sejarah, menurut Jameson, sisi sejarah yang dimunculkan tidak memiliki makna sama sekali sangat dangkal dan kosong.
Lalu bagaimana kita bisa tetap tersadar dengan segala ke-instanan yang ada? Haruskan kita berhenti sejenak keluar dari keinstanan yang ada? Stop mengkuti media sosial, berita dan lain-lain. Haruskan kita kembali ke alam saja, dimana kedamaian selayaknya berada?
0 comments:
Post a Comment