“Mister Pip” adalah sebuah cerita fiksi karya seorang
penulis asal Slandia Baru, Lloyd Jones. Dalam novel ini penulis menuangkan
kisah tentang kekuatan sebuah cerita atau story-telling
dalam merubah kehidupan manusia kearah yang lebih baik. Selain itu, yang
membuat novel ini menjadi lebih menarik adalah pemilihan setting. Penulis sengaja
memilih Bougainville, Papua Nugini tahun 1990-an sebagai tempat berlangsungnya
cerita. Hal signifikan tentang pemilihan setting ini adalah terjadinya perang
saudara di tahun tersebut, yang juga menjadi bagian paling penting dalam
keseluruhan alur cerita novel ini.
Cerita bermula dengan sebuah deskripsi mengenai seorang
yang bernama Mr. Watts atau orang sekampung memanggilnya “Pop Eye”. Dia adalah
satu-satunya orang kulit putih yang tersisa di kota Bougainville. Dahulu ketika
pertambangan masih aktif ada banyak orang kulit putih yang bekerja disana. Namun
ketika perang saudara pecah, mereka melarikan diri.
Matilda, si narrator,
bercerita bahwa ayahnya juga sempat bekerja di pertambangan dan sangat dekat dengan
orang-orang yang bermana ala-ala German (orang kulit putih aka bule.)
Kedekatanya dengan orang tersebutlah yang membawa ayahnya ke Australia.
Rencananya Matilda dan Ibunya, Dolores, akan menyusul. Namun, sebelum mereka
sempat menyusul pemblokade-an pun berlangsung. Akhirnya Matilda dan ibunya
terperangkap di kota Bougainville yang sedang konflik.
courtesy of oztypewriter |
Dalam kondisi konflik, dimana kepastian tidak pernah ada,
orang-orang di kota Bougainville masih menaruh harapan atas masa depan
anak-anaknya. Sekolah mereka sudah lama ditutup karena guru mereka pergi entah
kemana. Namun mulai hari sekolah akan kembali dimulai, dan yang menjadi gurunya
adalah Mr. Watts, seorang kulit putih yang penuh misteri. Bahkan orang
sekampung lebih sering mengolok-olok dia karena pelakuannya yang aneh. Dalam waktu-waktu
tertentu dia suka menggiring istrinya dalam gerobak dan memakai hidung merah
ala badut.
Awalnya orang sekampung tidak yakin Mr. Watts punya
kapasitas untuk mengajar. Namun, waktu akhirnya menjawab. Tidak hanya Mr. Watts
mampu mengajar, namun juga merubah hidup anak-anak ini selamanya. Terutama si
narrator, Matilda.
Sejak awal mengajar, Mr. Watts mengaku bahwa dia tidak
mengerti banyak hal dan dia bukanlah seorang guru beneran. Namun dia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mengajar. Karena dia satu-satunya guru
disana, dia harus meng-handle banyak
hal. Dan dia sangat kewalahan dalam melakukan itu. Namun ada satu hal yang dia
sangat ahli, dia sangat ahli dalam pelajaran tentang Charles Dickens. Atau
lebih pastinya, novel karya Charles Dickens yang berjudul “Great Expectation”. Rencananya
Mr. Watts akan membaca satu bab dari novel tersebut perharinya. Dan, anak-anak Bougainville
terlihat menyukainya. Kondisi Bougainville yang tidak punya akses ke listrik
saat itu, karena si pemberontak telah memutuskan akses mereka ke bensin,
membuat masyarakat Bougainville harus rela berada dalam kegelapan setiap
malamnya. Dan yang menjadi hiburan bagi anak-anak Bougainville adalah
imaginasinya. Setiap malam mereka menghabiskan waktu berimaginasi tentang
kelanjutan cerita hidup karakter yang bermana Pip. Dan disinilah ketika bisa
mempelajari korelasi antara judul “Mister Pip” dan keseluruhan cerita.
Ada banyak permasalah muncul dari buku yang di pakai Mr.
Watts dan kepercayaan masyarakat kota Bougainville. Ibu Matilda, Dolores,
adalah wanita yang sangat religius. Ketika menemui bahwa anaknya telah dihasut
oleh sebuah buku fiksi, dia sangat marah. Sering kali Dolores datang kesekolah
dan meng-interupsi sesi bercerita mereka dan memulai beceramah. Nantinya sisi
fundamentalisme Dolores akan berakibat negatif pada kehidupan masyarakat
Bougainville.
Singkat cerita kondisi kota Bougainville tidak lagi
kondusif. Si pemberontak dan pihak militar mulai datang silih berganti. Ketika pihak
military atau redskin datang dan mendeteksi adanya tulisan Mister Pip, mereka
mengira bahwa dia adalah nama seseorang dari kampong itu. Ketika Mr. Watts mencoba
menjelaskan bahwa itu adalah karakter didalam sebuah novel, dia gagal
membuktikannya karena novel miliknya hilang dari tempatnya. Ternyata ibu
Matilda telah mengambilnya dan menyimpannya dirumahnya. Akibatnya beberapa
rumah dibakar oleh pihak redskin.
Selanjutnya pihak pemberontak yang datang. Namun dalam
novel ini alih-alih melihat sisi gelap para pemberontak, kita malah melihat
sisi manusiawinya. Tidak pernah ada tindakan kasar yang mereka lakukan kepada
masyarakat. Saat si pemberontak mengintrogasi Mr. Watts, Mr. Watts berhasil
meyakinkan mereka untuk becerita secara berkala tentang kehidupannya. Jadi setiap
malam mereka berkumpul disatu tempat dan mendengarkan cerita hidup si Mr.
Watts. Bagaimana dia sampai hidup di Bougainville dan menikah dengan Grace,
istrinya yang menderita penyakit mental.
Ketika semua ini sudah berjalan lancar, malah pihak
militer datang dan menangkap para pemberontak yang membaur dengan masyarakat. Akibatnya
masyarakat juga berada dalam masalah besar. Ketika pihak militer mengintrogasi
dan menanyai siapa Mister Pip, salah satu dari pihak pemberontak menujuk tangan
kepada Mr. Watts. Kebetulan Mr. Watts mengaku sebagai Mister Pip ketika
berkenalan dengan si pemberontak. Akibatnya,
hari itu berakhir dengan beberapa pembunuhan. Salah satunya adalah pembunuhan
Mr. Watts. Ada bagian yang sangat vulgar dan grafik dalam novel ini. Salah satunya
adalah ketika Mr. Watts dibunuh, mayatnya di mutilasi dan dijadikan pakan babi.
Dibagian ini pembaca juga bisa melihat sisi baik ibu Matilda, Dolores. Ketika para
pemberontak membunuh Mr. Watts, Dolores berbicara bahwa dia akan menjadi saksi
dihadapan tuhan kelak. Ucapannya membuat dirinya berada dalam posisi rumit.
Pihak militer menembak dikaki. Dan ini juga berujung pada percobaan pemerkosaan
Matilda. Dolores tidak membiarkan ini. Sebagai ganti dia menaruh nyawanya. Lagi
lagi, Dolores dibunuh dan dimutilasi. Mayatnya dijadikan pakan babi.
Bagian
ini adalah bagian paling emosional bagi saya pribadi. Membayang kekejian
dilakukan oleh pihak militer dalam novel ini membuat saya murka. Dan beberapa
kalia saya malah menitiskan air mata.
Setelah beberepa pembunuhan terjadi, akhirnya pihak
militer meninggalkan desa tersebut. Kini masyarakat sangat berkabung. Mereka memutuskan
untuk membunuh babi yang memakan mayat saudara mereka. Dan menguburnya.
Bagi Matilda pribadi, hidup sudah tidak ada maknanya
lagi. 3 terpenting dalam hidupnya telah hangus: novel “Great Expectation”, Mr.
Watts, dan Ibunya.
Tiba-tiba hujan lebat turun dan berujung pada banjir
besar. Pada pristiwa ini Matilda sudah tidak tau lagi apakah dia harus bertahan
hidup atau menyerah saja. Namun keajaiban muncul, sebuah batang kayu
menyelamatkannya. Dia menamai batang kayu itu Mr. Jagger, dari karakter dalam
Great Expectation yang menurut Matilda adalah seorang penolong (savior). Selanjutnya
tiga orang dalam perahu muncul dan menyelamatkannya. Kita Matilda bangun dia
menemui dirinya didalam rumah sakit, artinya dia telah terselamatkan dan
berhasil melarikan diri dari kota Bougainville. Selanjutnya dia terbang ke
Australia dan bersekolah disana.
Sebenarnya ceritanya sudah selesai disini. Namun ada
beberapa cerita yang juga sangat berkesinambungan dengan keseruhan cerita. Seperti,
cerita bagaimana akhirnya Matilda bisa menjadi seorang Dickens expert. Ketika kuliah di Queensland
University dia menulis tesis mengenai Dickens. Sebagai pembaca kita sadar
relasi antara Matilda dan Charles Dickens, karena kita mengikuti seluruh cerita
hidupnya. Namun bagian ini berfungsi sebagai penekanan (emphasis) bagaimana
pentingnya novel dan story-telling dalam
kehidupan yang dilalui para karakter. Bahkan novel ini membuat pembaca merasa
bahwa karakter Pip dalam novel “Great Expectation” lah yang telah membantu
Matilda melewati segala kekejaman hidup yang dia lewati. Matilda sering
membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupa yang dilalui Pip. Pip adalah
teman imaginasi bagi Matilda. Bukan, Pip adalah penolong, seorang hero, yang
membantu Matilda untuk tetap bertahan hidup.
Dibagian akhir novel, Matilda mencoba mengunjungi
orang-orang terpenting di masa lalunya seperti rumah Mr. Watts di Slandia Baru.
Disana Matilda bertemu dengan mantan istrinya. Ternyata Mr. Watts sempat
menikah dengan orang kulit putih sebelum akhirya menikah dengan Grace, orang
kulit hitam asal Bougainville yang dulu mengenyam pendidikan di Slandia Baru. Dan
mempelajari penyebab Grace mengindap penyakit mental. Menurut cerita versi Mr.
Watts, Grace bigitu karena anak mereka yang meninggal saat masih kecil karena
sakit. Namun, menurut istri pertama Mr. Watts, Grace begitu karena dia tidak
bisa membedakan yang mana yang realita dan yang mana imaginasi. Disini kita
akhirnya tau kenapa Mr. Watts memakai hidung badut merah itu. Ternyata, Mr.
Watts sempat ikut dalam produksi drama yang berjudul Queen of Sheba. Sheba
dulunya adalah nama Grace. Dan pergantian nama adalah salah satu diskusi yang
adalah dalam novel ini. Ketika Matilda mempertanyakan keputusan Pip untuk
menukar namanya ketika pindah ke London, Mr. Watts menjelaskan bahwa terkadang
mengganti nama memang sangat penting. Karena pergantian nama bermaksud untuk memulai
hidup baru.
Novel ini berakhir dengan Matilda yang saat itu sedang
berada di Inggris. Matilda mengunjungi semua tempat yang berhubungan dengan
kehidupan Dickens. Hal ini dilakukan demi menyelasaikan tesisnya. Matilda
kesulitan menulis tesisnya. Namun baginya menulis tesis tentang Dickens lebih
mudah dari pada mempelajari hidup hero-nya Mr. Watts. Novel berakhir dengan
kata-kata Matilda sendiri yang merefleksi tentang Dickens versi-nya sendiri.
Bagi Matilda Dickens versinya adalah Mr. Watts.
“….my Mr. Dickens had taught every one of us kids that
our voice was special, and we should remember this whenever we used it, and
remember that whatever else happened to us in our lives our voice could never
be taken away from us.” (Jones, 268)
Akhir kata, sebagai pembaca saya sangat menikmati buku
ini. Awalnya saya hanya melihat bab pertama untuk tugas sekolah. Namun setelah
memulai novel ini saya tidak bisa berhenti. Deskripsinya yang sangat mudah
dimengerti dan temanya yang sangat menyentuh membuat saya terpancing. Hal lain
yang membuat saya sangat menikmati buku ini adalah pengalaman pribadi saya
tentang perang saudara. Ketika saya masih kecil, Aceh sempat menjadi daerah
operasi militer (DOM). Meskipun memori saya tentang perang saudara di Aceh tidak
begitu kuat karena saya masih berumur kurang dari 12 tahun saat itu, tapi saya
masih ingat hal-hal kecil seperti ketika orang tua saya mengumpulkan semua
baju, piring dan barang-barang berharga lainnya dan dikuburkan didalam tanah. Hal
ini dilakukan agar ketika, seandainya, rumah kami terbakar, kami masih punya
peralatan-peralatan penting untuk bertahan hidup. Hal lain yang saya masih
ingat adalah kebakaran dimalam hari. Waktu itu saya sangat antusias dan senang
melihat api itu. Mungkin pikiran saya sebagai anak kecil waktu itu, api besar
di mana-mana itu sama seperti yang dirasakan anak-anak kecil ketika melihat
kembang api. Namun ketika menyadari itu hari ini, saya memikirkan betapa
konyolnya saya. Kami juga tidur dilantai. Tidak ada yang berani tidur di atas
tempat tidur, karena logika orangtua kami mengantisipasi peluru yang kesasar. Jadi
ketika membaca buku ini, semua memori masa kecil saya kembali hidup. Dan saya
sangat bersimpati dengan karakter-karakter dalam novel ini.
Saya sangat merekomendasikan kalian semua untuk membaca
buku ini.
Empat bintang dari saya: ⭐⭐⭐⭐
0 comments:
Post a Comment