Selimut Multiwarna #CERPEN




courtesy: http://rosemille.typepad.com/rose_mille/2011/03/vintage-quilt-repair.html

Kejadian itu memang bagian dari masa kecilnya - masa dimana segalanya terasa sangat sulit. Namun, perasaan itu tertanam kuat didalam dirinya sehingga sekuno apapun cerita itu, tetap saja menjadi bagian dari dirinya.

Sewaktu kecil keluarganya hidup sangat pas-pasan. Segalanya serba seadanya, makan, pakaian, bahkan perlengakapan dirumahnya pun hanya seadanya. Ketika tetangga di kampungnya diserang oleh wabah demam memiliki televisi, keluarga hanya biasa diam dan menonton muka bahagia mereka dan sesekali menumpang nonton berita.

Terbesit rasa kekurangan dalam diri Ayahnya, yang merasa bahwa dia telah gagal menjadi seorang Ayah yang sepatutnya memenuhi impian keluarganya. Namun dia tidak bisa bebuat banyak. Pekerjaanya sebagai buruh kebun kopi tidak akan mampu merealisasikan impian istrinya akan prabot rumah tangga, atau pun impian anaknya akan TV dan PS. Dan begitulah, anak-anaknya lari ke rumah tetangga dan duduk di lantai keramik yang bening karena sofa milik tetangga itu tidak cukup untuk menampung mereka. Mereka melakukan ini demi menonton sinetron yang tentu saja tidak susai dengan umurnya saat itu. Melihat semua ini, Ayahnya sangat terhina. Dan lagi, lagi, rasa terhinanya dilipat gandakan oleh fakta bahwa dia sangat tidak berdaya.

Ekonomi keluaganya hanya cukup untuk hal primer, dalam hal itu makan dan makan. Selebihnya bagi mereka adalah kebutuhan sekunder. Bahkan, termasuk kebutuhan akan listrik. Rumah mereka belum diinstalasi listrik. Ketika malam tiba, mereka hanya menghidupkan lampu minyak, yang mereka buat sendiri dari botol bekas minuman energi kratingdaeng. Mereka membolongi tutup botol bekas tersebut dan memasukkan robekan kain kedalamnya. Selanjutnya, minyak tanah pun diisi dan dengan begitu, malam tak lagi begitu gulita dirumah mereka. Lampu minyak hanya bertahan hingga azan isya. Setelah shalat isya mereka harus mengakhiri malam dan tidur dimanapun ada tempat untuk merebahkan badan. Dibalut oleh selimut yang Ibu mereka buat dari pakaian bekas mereka waktu kecil yang tidak lagi muat dipakai. Selimut yang sangat berat, kadang membuat mereka susah untuk bernafas. Namun, tidak ada pilihan lain. Hawa pegunungan yang dingin memaksa mereka menggunakan selimut multiwarna itu.

Memori ini merasuk kembali kedalam dirinya ketika ia sedang merebahkan badannya diatas a king-sized bed dihotel The Ritz-Carlton dalam kunjugan kerja yang ia lakukan musim dingin tahun itu. Berbeda, kali ini dia bisa merasakan selimut putih bersih dan kasur yang lembut dan bahkan bisa mental jika duduki. Sambil berbaring diatas karus mewahnya, ia meraih remote TV yang terlelak dinightstand dan menyalakan Televisi. Langsung terdengar suara merdu Dolly Parton dengan musik country khasnya. Begini bunyinya.

Back through the years I go wonderin' once again
Back to the seasons of my youth
I recall a box of rags that someone gave us
And how my momma put the rags to use

There were rags of many colors and every piece was small
And I didn't have a coat and it was way down in the fall
Momma sewed the rags together sewin' every piece with love
She made my coat of many colors that I was so proud of

As she sewed, she told a story from the Bible, she had read
About a coat of many colors Joseph wore and then she said
"Perhaps this coat will bring you good luck and happiness"
And I just couldn't wait to wear it and momma blessed it with a kiss

My coat of many colors that my momma made for me
Made only from rags but I wore it so proudly

Although we had no money oh I was rich as I could be
In my coat of many colors my momma made for me

So with patches on my britches, holes in both my shoes
In my coat of many colors I hurried off to school
Just to find the others laughing and making fun of me
and my coat of many colors my momma made for me

And oh I couldn't understand that for I thought I was rich
And then I told them of the love my momma sewed in every stitch

And I told 'em all the story momma told me while she sewed
And why my coat of many colors was worth more than all their clothes

They didn't understand it and I tried to make them see
One is only poor only if you choose to be

It is true we had no money but I was rich as I could be
In my coat of many colors momma made for me
Made just for me

Ada perasaan asing nan familiar didalam lagu ini yang ia sedang coba resapi. Perasaan yang membawanya kembali kedalam memori masa kecilnya. Pun rasanya pedih kala itu, namun ketika ia memingat kembali masa itu, ia dengan penuh keyakinan mengatakan “I won’t trade it for a world”.

Dalam perjalanannya menyusuri hidup, sering sekali ia menutupi pengalaman masa kecilnya. Dia akui dia sempat malu dengan realitas masa kecilnya. Sehingga ketika ada orang yang bertanya, tell me about your childhood, dia dengan sangat kreatif akan membuat cerita tentang seorang anak juragan kopi yang suatu saat dikirim kekota besar untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan blah.. blah.. sehingga ia bisa seperti saat ini.

Faktanya, dia hanyalah anak seorang buruh kebun kopi yang sangat berutung. Ketika ia lulus Sekolah Dasar, majikan ayahnya melihat potensi yang ada dalam dirinya dan memutuskan untuk membiayai sekolahnya dengan satu syarat, dia harus tinggal dengan kerabatnya dikota besar. Dirumah kerabat itu dia dijadikan pesuruh yang bertugas melakukan apapun yang ditugaskan kepadanya, membersihkan toilet, mencuci piring, membersihkan pekarangan rumah dan ratusan list tugas lainnya. Hingga suatu hari ia mendapatkan beasiswa untuk mengikuti program pertukaran pelajar Bina Budaya ke Amerika saat ia masih kelas 1 SMA. Kejadian ini merubah hidupnya seutuhnya.

Kini sebagai seorang direktur sebuah perusahan mutlinasional, dia bisa merasakan hidup yang 160 derajat berbalik dari hidup masa kecilnya. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan realitas itu. Ia mencoba merubah identitasnya dengan mengarang cerita tentang dirinya. Merubah gayanya berbicara, karena takut aksen daerahnya akan memberikan tanda-tanda yang mencurigakan dan akan membuat orang disekitarnya menemukan siapa dia sesunggunya. Bahkan caranya berpakian. Kini dia tak lagi memakai baju penuh tambalan dan jahitan tangan, melainkan jas dari karya designer terkenal seperti Tom Ford dan Calvin Klein. Namun, malam itu ketika ia harusnya terlelap diatas kasus nyamanya, memori masa kecilnya malah dipersegar oleh suara merdu Dolly Parton.

Kata itu,  And oh I couldn't understand that for I thought I was rich / And then I told them of the love my momma sewed in every stitch,” membuatnya merasa terhina karena telah menyangkal bagian terpenting dalam hidupnya. Mengapa dia tidak mengakui bahwa masa kecilnya adalah faktor terpenting dalam kesuksesannya. Apa karena dia malu? Dia malu bahwa dia berasalah dari kalangan orang bawah? Mengapa harus malu? Toh, manusia tidak bisa memilih kapan dan kepada siapa dilahirkan. Yang mereka bisa lakukan adalah  memilih masa depan mereka. Mereka bisa menentukan mereka ingin menjadi manusia seperti apa.

Dolly Parton melanjutkan, “And I told 'em all the story momma told me while she sewed / And why my coat of many colors was worth more than all their clothes / They didn't understand it and I tried to make them see One is only poor only if you choose to be / It is true we had no money but I was rich as I could be / In my coat of many colors momma made for me Made just for me,” bagian ini adalah bagian dengan pukulan yang paling keras bagi mentalnya. Dia malu dengan semalu-malunya. Dia lebih hina dari siapapun dalam tahap ini.

Ada banyak persamaan antara lagu ini dan masa kecilnya. Lagu ini bercerita tentang rasa syukur yang tinggi terhadapat hal terkecil yang ia miliki tanpa ada rasa malu, sebuah baju musim dingin (coat of many colors.) Begitu juga dengan dirinya, dimasa kecilnya dia hidup dan besar dengan selimut penuh warna. Yang kurang dari dirinya adalah rasa syukur. Kini rasa syukur tumbuh dalam dirinya, karena lagu ini.

Lagu ini mengandung banyak sekali kebenaran. Dolly Parton bercerita tentang kehidupan masa kecilnya. Meskipun saat ini Parton adalah seorang super star, dia tidak pernah menapik akan asalnya dan realitas masa kecilnya. Baginya, yang terpenting adalah bagaimana seseorang bisa keluar dari kesulitan masa lalu itu dan menghargai pelajaran yang tak pernah henti mengalir didalamnya, sehingga seorang individu bisa menjadi versi tebaik dirinya.

Beberapa bulan setelah epiphany malam itu, dia berdiri diatas podium, dalam acara perilisan bukunya yang berjudul “Selimut Mutliwarna: Sebuah Autobiografi,” dimana ia memutuskan untuk mengungkapkan siapa dia sebenarnya dalam buku tersebut. Dan kini, hidupnya lebih bahagian dan bermakna. Kelelahan tak lagi terlukis diwajahnya dan segala kebohongan pun berakhir.   





0 comments: