coutesy of vanadiumblog.files.wordpress.com |
Secara infrastruktur juga begitu. Walaupun tidak separah bangaun SD Muhammadiyah di novel Laskar Pelangi, bangunan sekolah kami masih seadanya. Tidak ada gedung perpustakaan. Buku-buku ditempatkan dilemari kecil yang disediakan disetiap kelas.
Begitu juga dengan tenaga pengajar. Kalau di kota besar mungkin guru-guru yang mengajar adalah lulusan atau D3, D4 atau S1 dari universitas negeri, di SD kami mayoritas guru-gurunya adalah lulusan SPG, yang menurut saya pahami adalah Sekolah Menengah Atas Kejuruan dalam bidang pendidikan. Namun jujur, ini tidak serta mereta berarti bahwa guru-guru kami tidak kompeten. Malah sebaliknya, saya merasa bahwa mereka sangat kompeten dibidangnya. Buktinya ada banyak sekali alumni SD saya yang sukses dijenjang sekolah berikutnya dan bahkan jadi bintang kelas.
Salah satu hal lain yang juga saya sadari di kemudian hari adalah pilihan mata pelajaran yang diajarkan; yang sangat jauh berbeda dengan dikota besar. Di SD-SD di kota besar ada pelajaran-pelajaran seperti Bahasa Inggris dan Kesenian, yang tidak kami dapatkan. Di SD kami salah satu mata pelajaran yang dekat ke bidang kesenian mungkin cuma pelajaran Muatan Lokal, dan yang diajarkan dikelas ini hanyalah bahasa lokal atau bahasa Arab.
Saya pribadi baru mulai mendapatkan pelajaran bahasa Inggris di MTs Nurul Islam, Bener Meriah. Kebetulan saya melanjutkan Sekolah Menengah di Pondok Pesantren Terpadu tersebut dimana bahasa Inggris dan bahasa Arab adalah bahasa yang di ajarakan; bahkan wajib digunakan sehari-sehari. Di pondok inilah pertama kalinya saya belajar bahasa Inggris dan langsung jatuh cinta. Setiap hari setelah shalat subuh kami diberikan 3 kosa-kata, yang nantinya sepanjang hari itu harus disetor (istilah yang kami gunakan untuk melafalkan kosa-kata yang sudah diberikan dihadapan pengurus bahasa). Hari ini terkadang teman-teman Turki saya bertanya: nasil Inglizce ogrenebildin? Saya nggak tau mau jawab apa. Ia saya diajarkan kosa-kata, tapi apakah cukup? Tentu tidak. Selama SMP dan SMA bahasa Inggris saya kacau. Grammar gak karuan dan lain-lain. Tapi ada satu hal yang saya punya saat itu, yaitu rasa percaya diri yang tinggi. Saya nggak perduli bahasa Inggris saya mau kacau atau apapun, saya tetap komitmen untuk mempraktikannya. Kalau history twitter saya tahun 2011-2013an dibongkar pasti isinya kacau semua. Tapi saya nggak malu untuk mengakui itu. Itu adalah bagian dari proses belajar bahasa Inggris yang harus saya lalui sebagai anak perkampungan.
Terkadang saya iri dengan teman-teman Indonesia lainnya yang saya temui di Turki. Mereka mengaku sudah dikenalkan ke Bahasa Inggris sejak kecil dan bahkan orangtua mereka memang secara conscious membiasakan mereka untuk melek bahasa Inggris sejak kecil dengan cara membelikan buku-buku bacaan dalam bahasa Inggris dan mengintal TV berbayar yang ada channel bahasa Inggrisnya. Ditambah dengan pendidikan mereka selanjutnya, SMP dan SMA internasional. Lengkaplah sudah!
Tapi ini bukanlah topik yang saya ingin tekankan dalam postingan ini. Berkaca dari pengalaman saya di Turki, dibalik kesenjangan pendidikan di Indonesia, ada satu hal yang membuat saya bersyukur menjadi salah satu produk didikan sekolah Indonesia yaitu KEMANDIRIAN. Saya tidak tahu dengan sekolah-sekolah di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lain-lain, tapi kami di Aceh masih di tugaskan untuk membersihkan kelas sendiri. Setiap hari sudah ditentukan siapa yang akan menjadi piket bersih-bersih kelas. Berbeda dengan di Turki, para murid tidak terjun langsung dalam kegiatan bersih-bersih. Pemerintah sudah menyediakan tenaga pembersih yang bertugas untuk membersihkan dan merapihkan kelas. Para murid hanya datang untuk belajar saja. Kelihatannya sangat bagus bukan? Jadi anak-anak bisa fokus pada pelajarannya saja. Tapi saya pribadi tidak berpikiran demikian. Sekolah bukan hanya tempat untuk mengemban ilmu saja tapi juga tempat untuk membentuk moral anak-anak. Dan hal sesimpel membersihkan kelas mampu memberikan pelajaran besar yang akan dibawa oleh anak-anak tersebut hingga dikehidupan dewasanya.
Kebetulan di Turki saya tinggal di asrama yang dikelola oleh pemerintah. Diasrama ini mahasiswa dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti makanan siap santap tanpa perlu masak, laundry dan pengering yang tidak membutuhkan tenaga dan waktu jika dibandingkan dengan mencuci secara manual, dan tenaga pembersih yang setiap pagi datang kekamar-kamar untuk menyapu dan mengepel lantai dan membersihkan toilet. Sebagai produk didikan asrama pondok saya sangat tidak enakan ketika melihat kamar dibersihkan orang lain. Bayangkan saja, biasanya bersih-bersih kamar dan toilet bersama dengan teman sekamar, disini tiba-tiba ada orang paruh baya yang datang untuk membersihakan kekacauan yang kamu buat. Sampah-sampai diatas meja dipungut sama mereka. Saya malah nggak ngebolehin mereka untuk ngambil sampah saya. Saya bilang gini: nanti saya akan buang sendiri.
Tanpa ada judgment dalam kalimat ini, saya ingin membandingkan approach yang diambil teman sekamar saya (yang adalah orang lokal) terhadap tukang bersih-bersih ini. Kontras, mereka melihat tukang bersih-bersih ini sebagai orang yang memang harus melakukan hal-hal tersebut. Bahkan alih-alih menolong, mereka malah mempersulit kerja tukang bersih-bersih dengan menumpuk sampah disetiap sudut kamar. Beberapa minggu ini tenaga bersih-bersih komplain untuk tidak menumpuk sampah diatas kulkas. Alih-alih mengindahkan komplainan itu, mereka malah berontak dan marah-marah dan menambah jumlah sampah yang ada. “Kenapa, itu kan kerjaan kamu!” jawab mereka.
Dalam penggunaan kamar mandi juga. Orang sini yang umumnya berjenggot mengharuskan mereka untuk merapihkan jenggotnya setiap minggu, bahkan mungkin dalam 3 hari sekali. Nah, sebagai orang yang bertanggungjawab harusnya setelah mencukur jenggot rambut-rambutnya diberihkan jangan sampai berantakan di westafel dan lantai kamar mandi. Tapi nggak! Teman kamar saya nggak perduli untuk membersihkan “kotorannnya” itu. Dia lebih memilih untuk meninggalkannya ke tukang bersih-bersih saja, yang menurut saya pribadi sangat mengejutkan. Kalau saya pasti malu kalau rambut-rambut gitu berceceran dilantai. Lebih ke perspektif sih. Nanti di cap sebagai orang kotor sama tukang bersih-bersih. NB: saya adalah salah satu orang yang sangat peduli pandangan orang lain terhadap saya!
Satu lagi, disini setiap orang mau laki atau perempuan pasti pakai pengering rambut. Nggak ada masalah dengan ini. Tapi salah satu teman sekamar saya, rambutnya gampang rontok. Nah, kalau lagi cuci rambut dan setelahnya rambutnya diblow pakai pengering rambutnya jadi berceceran dilantai WC. Apakah dia akan bersihin lantainya setelah itu? Mustahil. Beberapa kali saya bersihin tapi karena dia gak sadar juga, akhirnya saya biarin begitu. Ujung-ujungnya tukang bersih-bersih juga yang harus membersihkan kotoran yang kami buat.
Tapi kembali lagi, generalisasi adalah sebuah kebodohan. Mungkin saja saya kebetulan jonk dapat teman-teman kamar begitu. Pasti orang lain gak begitu. Tetap positif.
Kembali ke salah satu didikan sekolah di Indonesia yang mungkin terlihat simple (piket kelas) tapi ternyata mengajarkan hal yang sangat besar yaitu bagaimana untuk hidup mandiri, bertanggungjawab, dan meningkatkan sensitifitas dan kesadaran terhadapa lingkungan. Dan saya rasa didikan seperti ini harus dilanjutkan. Jangan sampai sekolah membayar tenaga pemberih untuk membersihkan kelas-kelas. Melainkan ikut sertakan murid-murid utuk membersihkan lingkungannya. Saya juga ingat dulu di SD bahkan sampai SMA sekali dalam seminggu ada bersih-bersih masal untuk membersihkan lingkunan luar sekolah. Waktu itu mungkin menjengkelkan, tapi sekarang saya bisa lihat manfaatnya.
Tapi kita juga harus menekankan pentingnya faktor-faktor utama seperti infrastruktur, tenaga pengajar yang memadai dan komponen lainnya agar fondasi sistem didikan yang sudah baik itu tambah lebih baik laik. Hidup pendidikan Indonesia!
0 comments:
Post a Comment