Bisa di katakan, satu tahun terakhir saya cukup aktif bergerak di bidang gaya hidup berkelanjutan (sustainability). Jujur, sebelumnya saya tidak terlalu paham mengenai isu sustainability. Tapi setelah mengikuti workshop Sustainable Development Goals (SDGs) yang di adakan oleh United in Diversity (UID) di akhir tahun 2018 (baca disini), saya sedikit banyak mengerti bahwa kita sedang mengalami krisis ekologi. Mengutip bahasa UID, "ada ketidak selarasan antara manusia, alam dan spiritualitas".
Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa penyabab dari krisis ekologi ini adalah ulah tangan manusia. Penggunaan energi yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar minyak, menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Begitu juga dengan penggunaan plastik yang tidak bertanggung jawab, menyebabkan terjadinya polusi sampah di laut. Tentunya, banyak contoh-contoh kegiatan sehari-hari kita yang lain yang menjadi penyebab terjadinya krisis ekologi. Tetapi yang paling jelas, gaya hidup konsumtif adalah akar dari permasalah krisis ekologi ini. Sistem sosial kita mengkondisikan agar kita selalu tertarik untuk membeli hal baru, walaupun sebenarnya kita tidak memebutuhkan barang-barang tersebut. Akibatnya, karena permintaan tinggi, produksi pun semakin gencar. Akhirnya, banyak barang-barang yang masih bagus (masih dapat digunakan) menumpuk sia-sia.
Mari kita membayangkan sebuah utopia dimana kita selalu merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Cukup dengan baju yang ada (tidak perlu membeli baju baru setiap sebulan sekali), cukup dengan telepon genggam yang masih berfungsi (tidak perlu ganti HP setiap tahun), cukup dengan kendaraan yang ada (tidak perlalu ganti kendaraan setiap kali muncul kendaraan keluaran baru), dan seterusnya. Jika kita terpaksa harus membeli, kita hanya membeli hal-hal yang esensial (tampanya kita tidak berfungsi).
Lebih utopia lagi, kita tidak membeli sama sekali. Tetapi kita mendapatkan barang yang kita inginkan dari orang lain disekitar kita. Bisa jadi barang tersebut barang bekas yang masih befungsi dengan baik. Tidak mustahil barang tersebut masih baru - pemilik mendonasikan karena merasa excess to needs (melebihi kebutuhan).
Bagaimana kalau hal-hal ini bukan sebuah utopia tetapi kenyataan?
Perihatin dengan kondisi alam saat ini, dua orang sahabat dari Bainbridge Island, WA - Rebecca Rockefeller dan Liesl Clark - memutuskan untuk beraksi dengan mendirikan sebuahan gerakan bernama Buy Nothing. Gerakan ini berbentuk sebuah group facebook tertutup untuk masyarakat yang tinggal di satu wilayah yang sama. Saat ini gerakan ini telah menyebar ke 25 negara dan tidak putus kemungkinan akan terus menyebar kenagara-negara lainnya. Sayangnya, gerakan ini belum ada di Indonesia.
Untuk informasi lengkap mengenaik Buy Nothing, silahkan klik di sini.
Untuk Canberra, ACT, tempat tinggal saya saat ini, group Buy Nothing dibagi berdasarkan suburb atau kecamatan. Didalam group ini, anggota group bisa menyedekahkan barang yang tidak mereka gunakan lagi atau bahkan meminta barang-barang tertentu yang mereka butuhkan seperti lilin kue ulang tahun, vacuum cleaner, atau bahkan barang yang dianggap bernilai tinggi seperti laptop.
Saya sendiri masuk dalam group Buy Nothing Watson/Hackett dan telah merasakan manfaat dari group ini. Saya dapat tempat tidur dan kasur gratis dari group ini. Saya dapat meja belajar IKEA sekaligus kursinya dari group ini juga. Saya dapat vacuum cleaner dan mesin babat rumput dari group ini. Selain mendapatkan barang gratis, saya juga mencoba untuk berbagi. Kebetulan saya pernah beli miso paste dan ternyata mengandung alcohol. Akhirnya saya coba tawarkan di group dan langsung ada yang berminat. Ia, didalam group ini kita bisa berbagi makanan atau bahkan jasa juga.
Menurut saya gerakan Buy Nothing ini adalah gerakan yang sangat efektif dalam meng-counter gaya hidup konsumtif. Dari pada langsung beli barang baru, anggota group akan cek dulu apakah ada anggota group yang bersedia untuk berbagi. Dalam satu sisi, penerima akan untung, tetapi ada keuntungannya juga buat pemberi - karena tidak perlu menumpuk atau bahkan membuang barang yang masih bagus. Keuntungan lainnya, jumlah sampah (waste) tidak bertambah. Win-win solution bukan?
Bagi yang baru sampai di Australia baik untuk studi maupun kerja, tidak perlu terburu-buru ke IKEA untuk beli perlengkapan rumah. Coba cek dulu group Buy Nothing di wilayah tempat tinggalnya. Kalau bisa dapat gratis kenapa harus beli? Apalagi bagi pelajar yang akan tinggal di Australia hanya 2 sampai 4 tahun saja.
Selain membantu mengurangi gaya hidup konsumtif, menurut saya Buy Nothing juga berefek positif dalam mempererat hubungan antar masyarakat di suburb tempat saya tinggal. Seperti yang kita ketahui, masyarakat Barat sangat menghargai privasi dan individualisme. Walaupun tetap menjunjung tinggi privasi dan individualisme, buktinya melalui Buy Nothing ini masyarakat di suburb saya masih bisa berbagi. Artinya tidak ada hubungan antara privasi / individualisme dengan keinginan untuk berbagi.
Bahkan dari observasi saya, di masa-masa krisis seperti saat ini, rasa kepedulian malah semakin meningkat. Sebagai contoh, karena banyak orang yang harus kerja dari rumah, kebutuhan meja dan kursi pun meningkat. Menurut teori ekonomi, harusnya konsumsi atau pembelian kursi dan meja di pasaran meningkat juga, dong?
Nah, mungkin ini saatnya kita memperkenalkan teori Buy Nothing?
Ketika ada krisis, kepedulian semakin meningkat. Rasa kepedulian yang meningkat ini akhinya dapat memenuhi kebutuhan (demand) barang esensial yang sedang meningkat pula.
Artinya, konsumsi bukan satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan. Selain konsumsi, kita juga bisa saling berbagi untuk memenuhi supply dan demand.
courtesy of https://waynedalenews.com/ |
*****
Kembali lagi ke permasalahan terbesar abad ini: krisis ekologi. Sebenarnya solusi untuk menanggulangi masalah ini sudah sangat jelas - kita harus memikir ulang sistem pasar / ekonomi kita saat ini. Persamasalahannya, negara-negara di dunia hanya peduli pada angka GDP. Kekurangan GDP adalah GDP tidak menghitung angka kerugiaan pada alam. Sebenarnya jika dihitung, biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi kerusakan alam lebih besar dari pada keuntungan yang kita dapatkan dari sistem ekonomi saat ini.
Melakukan perubahan besar-besaran pada sistem ekonomi yang sudah terbentuk tentunya akan butuh waktu dan niat dari semua kalangan. Untuk saat ini yang paling realistis adalah membuat perubahan dari akar rumput (grass root). Buy Nothing adalah salah satu gerakan akar rumput yang mencoba untuk menawarkan solusi untuk permasalahan ini. Selain Buy Nothing, kita sebagai individu bisa juga berkontribusi - dengan selalu reflektif dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam membeli, dalam berkendaraan, dan sebagainya.
Mari melindungi alam ini bersama!
0 comments:
Post a Comment